Selasa, 16 Juni 2009

Psikologi hati dan berpikir


"CERDAS?!" Yang bagaimana menurut Anda. Bisakah anda melihat bentuk cerdas? Jawabannya tentu tidak, karena cerdas bukanlah benda. So, apa sih cerdas itu?


Kecerdasan adalah sebuah misteri sebagai hasil dari akomodasi dialog akal pikir dengan kamantapan hati, sebuah kemampuan memberikan definisi, makna, dan keputusan cepat serta akurat. Keputusan yang kokoh itu disebabkan adanya bekal pengetahuan, dalamnya pengetahuan, dan meruncingnya keyakinan.


Semua hal yang berkaitan dengan belajar tidak akan berkutat jauh dari proses berfikir dan bertanya. Dengan berfikir, maka ia dapat membandingkan, membedakan, menyamakan, menemukan hubungan, dan menyimpulkan premis-premis yang ada. Karena itu, beberapa pakar psikolog dan ahli ilmu filsafat seperti R Descrates mengatakan bahwa berfikir adalah proses belajar tertinggi.


Sobat..., sebenarnya berfikir merupakan bagian dari proses mencoba yang dilakukan pada tataran pikiran. Hal inilah yang membedakan manusia dan binatang. Adapun efek dari berfikir yaitu pemecahan masalah yang diharapkan. Akan tetapi, jika terdapat kesalahan maka otak kita akan mencari jalan lain dari sebuah pemecahan.


Bertanya dan berfikir sebenarnya bukanlah ilmu baru dalam dunia pengetahuan. Dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Maka bertanyalah pada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui” (Q.S Al-Anbiya {21}: 7). Kenapa penulis ungkap seperti ini? Hal ini disebabkan karena pada tataran masyarakat, kita dianggap orang yang tahu banyak tentang ilmu, akan tetapi sudahkah hati dan akal pikir kita menuju ke sana?


Bagaimana menggunakan hati dan akal dalam bermasyarakat?
Para psikoterapi modern menyadari pentingnya hubungan manusia dengan kesehatan jiwa. Karena itu, mereka membaurkan pasien penyakit jiwa dengan anggota masyarakat, menguatkan hubungan cinta dan kasih sayang diantara mereka dengan orang lain, menganjurkan mereka melebur dengan masyarakat, dan melakukan pekerjaan yang berguna.


Alfred Adler memberikan terapi dengan menasihati pasien-pasien untuk memperhatikan orang lain, melebur, dan membantu mereka . Ia mengatakan kalau mereka bisa melakukannya, maka ia telah sembuh.


Dalam Al Qur’an Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Taubah[9}: 10). So, masihkah kita membedakan hamba Allah yang satu dengan yang lain secara kasat mata? Tanyalah hati, berimankah kita jika masih menggap diri jauh lebih baik dari yang lain? Bukankah hal itu merupakan bentuk kesombongan??? ( Na'udzubillah..)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar